After Orchard

Bagi banyak orang, Singapura berarti Orchard Road. Surga belanja yang nyaman, hijau, aman, dan tertib. Sebuah negeri impian tempat rekreasi terdekat, simbol tawa, liburan, hura-hura. Enam bulan sekali gue meninggalkan Soekarno-Hatta dengan 'Orchard
Road' dalam benak.Hingga suatu pagi, enam tahun lalu gue menuju Singapura untuk
sebuah tujuan lain. Berada di antara 178 calon mahasiswa Indonesia, gue menerima tawaran pendidikan berkualitas dengan biaya murah yang bisa didapat satu jam dengan pesawat dari tanah kelahiran. Sejak saat itu, berakhirlah masa turis gue. Singapura kini punya definisi lain. Di mata gue kini, Singapura berarti Nanyang Technological University (NTU), tempat gue menempuh pendidikan selama empat tahun berikutnya. NTU adalah awal perkenalan gue dengan Singapura. Lewat interaksi dengan para mahasiswa, dosen, sistem penilaian dan penghargaan yang ada, gue belajar memahami masyarakat Singapura, struktur, nilai, serta sistem yang tertanam. Maka, menceritakan tentang Singapura adalah menceritakan tentang NTU, tentang sistem pendidikan yang gue lalui. Di sinilah gue pertama kali mengetahui berapa nilai seorang manusia, mahalnya sebuah kegagalan, tapi juga manisnya kesempatan bagi mereka yang berhasil menjawab tantangan. NTU juga yang memberikan gue kesempatan untuk hidup bersisian
dengan warga Singapura. Berebut bangku di MRT (Mass Rapid Transportation), berlarian di sela bangunan HDB (Housing and Development Board), makan di hawker centre (kaki lima Singapura), dan mengetahui segala istilah serta singkatan itu.

Sebuah pengalaman yang memungkinkan cerita lebih lanjut tentang nilai dan sistem yang ada di Singapura. Menjadi bagian dari keteraturan, ketertiban, dan keamanan, sekaligus mengetahui berapa harga untuk menciptakannya. Dalam setiap pengalaman yang dilalui, lahir pengalaman baru lagi: interaksi dengan manusia-manusia yang menyusun Singapura secara keseluruhan. Tentang jalinan hubungan, atau ketiadaan hubungan. Sebuah kisah khusus yang layak mendapat bab khusus dalam hidup tentang Singapura. Dan segala yang dilalui setiap mahasiswa Indonesia di Singapura, suka tidak suka, telah mengubah gue. Proses adopsi membawa gue mengadopsi banyak nilai dan sifat masyakarat Singapura. Namun terkadang, menempuh pendidikan, mengamati masyarakat,
serta interaksi harian, justru menekankan perbedaan nilai antara Singapura dengan nilai pribadi. Inilah bab terakhir (atau awal) seorang Indonesia di Singapura. Memilih untuk melepaskan nilai yang telah dipegang selama se-tidaknya 18 tahun sebelumnya, atau bersikeras melawan proses adaptasi. Meski terkadang pilihan yang diambil tidak selamanya
yang ingin dipilih. Namun, Singapura tetaplah tempat di mana masa depan gue dimulai. Tempat gue mulai menemukan menulis sebagai satusatunya cara membangun hubungan dengan dunia. Tempat gue belajar untuk menertawakan tekanan sebagai lelucon hidup.
Juga, di negara inilah gue berkenalan dengan sahabat sejati, Robert Budianto, si jenius yang punya pemikiran luar biasa 'menyegarkan'. Seringkali, refleksi dalam blog dan tulisan berawal dari celetukan konyol dan kisah ajaib tokoh ini, yang punya nama beken Oknum R. Sebuah julukan yang telah menempel karena gaya dan sifat yang punya kecenderungan 'kriminal' saking kontroversialnya. Maka, dalam menulis, tak pernah ada niat sedikit pun untuk mengurangi nilai Singapura dan institusi tempat gue bernaung selama ini di mata siapapun juga. Singapura adalah tempat yang gue sebut 'rumah' selama empat tahun. Tempat di mana gue 'pulang'. Tak pernah terlintas untuk mendiskreditkan 'rumah' sendiri. Yang ada hanyalah kepedulian untuk menjadikan 'rumah' ini menjadi lebih baik. Gue hanya ingin melukiskan kehidupan Singapura di mata gue. 

Singapura memang bukan sekadar Orchard yang indah, yang gemerlap, yang penuh dengan pesona. Apa yang harus dihadapi setiap hari sebagai rutinitas, siapa yang tinggal secara permanen di dalamnya, itulah arti Singapura sesungguhnya bagi orang yang tinggal di dalamnya. Segala jalan hidup yang harus dilalui, setelah melewati Orchard Road.