Kalatidha

  • Cover Kalatidha
Rp 35.000
Hemat Rp 3.500
Rp 31.500
Judul
Kalatidha
No. ISBN
9789792225037
Tanggal terbit
Januari - 2007
Jumlah Halaman
234
Berat
-
Jenis Cover
Soft Cover
Dimensi(L x P)
135x200mm
Kategori
Cerpen
Bonus
-
Text Bahasa
Indonesia ·
Lokasi Stok
Gudang Penerbit icon-help
Stok Tidak Tersedia

DESCRIPTION


Kalatidha artinya zaman rusak. Dikisahkan seorang pembobol bank masuk penjara dan membaca kembali kliping koran-koran Indonesia dari tahun 1965. Namun ia sendiri hidup dalam berbagai dunia yang tidak selalu bisa dipisahkannya karena memang hadir begitu nyata. Seperti kisah pembakaran sebuah keluarga yang diduga menjadi antek PKI. Salah seorang dari mereka, Menik, berhasil lolos namun kemudian menjadi gila ketika mendapati kenyataan bahwa keluarganya sudah menjadi arang, termasuk kembarannya. Dalam kegilaan Menik ditangkap dan ditempatkan di rumah sakit jiwa. Di sana ia diperlakukan seperti binatang, diperkosa siang dan malam oleh dokter dan penjaga rumah sakit. Sampai suatu ketika, arwah saudari kembarnya menitis dan membuat Menik berhasil lolos dan membalas dendam kepada semua orang yang menurutnya patut disalahkan atas pembakaran keluarganya dan pemerkosaan dirinya. Kalatidha adalah novel terbaru Seno Gumira Ajidarma. Kadang seperti cerita silat, kadang seperti cerita misteri. Tanpa kehilangan melankoli romantik dan seriusnya tragedi bangsa yang menjadi trauma sampai hari ini.

REVIEW Kalatidha

Oleh : maryulismax, 08 Jul 2007-20:14:08

Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating
TERNYATA tak gampang menjadi gila. Gila dalam artian sebenarnya. Justru lebih mudah membikin sebuah kegilaan yang belum tentu dan bisa jadi gila-gilaan. Seno Gumira Ajidarma melalui novelnya ini, mencoba membuktikan itu.

Bagi yang baru mengenal riwayat kepenulisan pria yang namanya kerap disingkat SGA itu, mungkin agak akan terkejut bila perkenalan pertamanya melalui buku setebal viii + 234 halaman ini. Bukan kenapa-kenapa, novel SGA kali ini benar-benar “berat” dibanding karya sebelumnya seperti “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, misalnya. Saking beratnya, bagi yang tak terbiasa dengan permainan kata yang menjemukan, pastilah akan melewatkan beberapa bagian cerita yang dirasa tak berpengaruh bila sengaja dihilangkan atau tidak dibaca sama sekali.

Tokoh Aku di dalam novel ini, pun melakukan itu. Mengabaikan beberapa kliping koran yang dianggapnya tidak menarik untuk dibaca walau keingintahuannya cukup besar terhadap peristiwa besar (G30S/PKI-red) yang ada di kliping koran yang menjadi bagian cerita yang tak terpisahkan dari novel Kalatidha ini. Alasannya, si Aku tak tahan membaca cara penulisan yang buruk.

“Belum kubaca habis berita ini, mataku sudah melompat ke berita lain. Meskipun keinginanku untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi di masa itu besar, aku tak tahan membaca cara penulisan yang buruk. Barangkali seleraku terlanjur dibentuk oleh buku-buku bacaan yang baru kusadari belakangan ditulis dengan sangat bagus.” (hal. 153)

Maka oleh itu, wajar bila ada pembaca novel ini –termasuk saya– menerapkan pola membaca ala tokoh Aku tadi. Ada beberapa bab yang bisa diabaikan, bila tak ingin berlarut-larut dengan permainan kata yang sebenarnya indah, tapi akhirnya justru menjemukan. Seperti bab 7 “Cinta dan Bencana” (hal. 53), bab 16 “Negeri Cahaya” (hal. 135), dan bab 19 “Sang Mata di Tepi Pantai” (hal.163), serta bab 20 “Utopia Ketiadaan” (hal.173). Tapi, jangan coba mengabaikan bab-bab pertama di buku ini, yang walau menjemukan, tetap saja menjadi rangkaian fragmen yang akhirnya saling berkait kendati tak berurut satu sama lainnya.

Adalah wajar bila pola membaca seperti itu diterapkan, toh SGA yang menjelma menjadi tokoh Aku di cerita ini, secara jujur mengungkapkan proses kepenulisan dan alur penceritaan saat membahas sedikit jati dirinya di bab 9 “Aku Hanyalah Seorang Tukang Kibul” (hal. 69). Disebutkan, bahwa cerita yang diceritakan urut tak urut, terbolak-balik dan campur aduk.

“Maklumlah, aku bukan seorang penulis yang piawai, tetapi aku merasa perlu mengosongkan kepalaku dari segenap kenangan maupun angan-anganku. Jadi itulah yang aku lakukan selama ini, berusaha memindahkan dunia dalam kepalaku keluar sebisa-bisanya. Urut tak urut, terbolak-balik, dan campur aduk, biarlah terhadirkan seperti apa adanya, selama aku bisa terbebaskan dari cerita yang terus menerus mengendon dalam kepalaku.” (hal 69)

Mengambil setting zaman pencidukan 1965-1966 setelah peristiwa Gestapu yang saat itu si Aku masih kecil dan menceritakannya –atau tepatnya, menuliskannya– saat dia meringkuk di penjara karena terlibat pembobolan bank puluhan tahun kemudian, jalan cerita yang dibangun SGA benar-benar di luar dugaan. Karena dia menggabungkan unsur misteri, romantis melankolis yang satir, yang dirangkum secara terpisah tapi kemudian tidak bisa dipisahkan.

Selain tokoh aku, juga dibangun “keterlibatan” tokoh lain di cerita ini biar tidak hambar. Seperti perempuan gila yang keluarga dan saudara kembarnya dihabisi massa lantaran dianggap PKI. Di sinilah tema sentralnya; traumatik dan pembalasan dendam. Tokoh Aku dilibatkan di kisah ini, karena dia jatuh cinta –walau belum pernah sekalipun berhubungan/berkomunikasi– dengan saudara kembar si perempuan gila yang dibakar hidup-hidup bersama keluarga besarnya. Si kembar yang tewas, menjadi dekat dengan si Aku, karena “kelebihan” si Aku yang bisa melihat kehidupan di “dunia lain” yang menjadi dunianya si kembar.

Lalu ada pula tokoh Joni Gila yang dimunculkan sebagai orang gila yang turut menganiaya dengan menendang dan memukul si perempuan gila saat dirawat di rumah sakit jiwa. Tapi Joni tidak turut memerkosa si perempuan gila, seperti halnya yang dilakukan penjaga malam, sipir, hingga dokter kepala di rumah sakit jiwa itu.

Di sinilah letak kegilaan yang coba dibangun SGA. Dengan “memberi tempat” untuk tokoh Joni Gila dalam 3 bab soal catatan si Joni Gila. Berhasilkah SGA menjelaskan cara berpikir orang gila? Berhasil, tapi justru memunculkan pertanyaan lanjutan, kok bisa-bisanya orang gila bikin catatan yang isinya dan bahasanya jauh lebih tinggi –dan kadang sulit dimengerti– dari orang yang tidak gila sekalipun.

SGA pun menyadari soal ketidakmungkinan gila bila orang gila seperti Joni bisa menulis, yang orang tidak gila saja belum tentu bisa menulis segila Joni Gila itu. Karena si Joni sendiri sebagai orang gila merasa berpura-pura gila, bertingkah laku seperti orang gila agar dikira benar-benar gila atau menjadi benar-benar gila sehingga lupa jika selama ini hanya berpura-pura gila. Nah bingungkan?

Supaya tidak bingung, baca saja Kalatidha ini. Tapi hati-hati, jangan sampai gila oleh kegilaan cerita gila yang dibikin SGA ini. Selamat membaca… (***)

WHY CHOOSE US?

TERLENGKAP + DISCOUNTS
Nikmati koleksi Buku Cerpen terlengkap ditambah discount spesial.
FAST SHIPPING
Pesanan Anda segera Kami proses setelah pembayaran lunas. Dikirim melalui TIKI, JNE, POS, SICEPAT.
BERKUALITAS DAN TERPERCAYA
Semua barang terjamin kualitasnya dan terpercaya oleh ratusan ribu pembeli sejak 2006. Berikut Testimonial dari Pengguna Jasa Bukukita.com
LOWEST PRICE
Kami selalu memberikan harga terbaik, penawaran khusus seperti edisi tanda-tangan dan promo lainnya

Produk digital

Buku sejenis lainnya

Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama lainnya:

WorkLess, EarnMore the trilogy Part 1
Buku Who The Hell Are You? Buku Personal Branding
Buku pengembangan Diri Januari 2020
Buku Populer & Terlaris 2020