Perantau
DESCRIPTION
Di sebuah kampung di tanah air, merantau adalah keharusan bagi seorang laki-laki dewasa. "Pergilah merantau, Nak." adalah kalimat yang lazim diucapkan seorang ibu di daerah itu. Namun apakah arti sesunguhnya merantau? Dalam cerpen 'Perantau', Gus tf Sakai bercerita dengan indah tentang makna dan harapan yang dicari oleh para perantau. Pada beberapa cerpen lainnya, Gus tf Sakai mengemukakan kritik sosial dengan gaya bercerita yang metaforis dan tertata dengan saksama. Misalnya cerpen "Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas" mengungkapkan kritik terhadap pemerintah pusat tentang eksploitasi kekayaan bumi daerah. Cerpen "Belatung" mengisahkan tentang kesulitan ekonomi yang memaksa seorang perempuan menjadi pelacur. Cerpen "Kami Lepas Anak Kami" mengemukakan masalah kurikulum pendidikan anak yang tidak proporsional. Cerpen-cerpen dalam buku ini telah terbit di berbagai media massa terkemuka seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison dan Padang Ekspress. Perantau adalah kumpulan cerpen Gus tf Sakai yang ke-4, setelah Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), dan Laba-laba (2003). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta memenangi Hadiah Sastra Lontar 2001 dan penghargaan sastra Pusat Bahasa 2002, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh The Lontar Foundation dengan judul The Barber (2002). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta juga menerima SEA Write Award 2004.
REVIEW Perantau
Rating |
Begitulah sepenggal kalimat di cerpen “Lelaki Bermantel” yang dimuat di kumpulan cerpen “Perantau” karya Gus tf Sakai ini. Membacanya, tersirat jelas bahwa cerpen ini sedang mengangkat tema jiwa yang terbelah, yang pernah menjadi trend cerita fiksi pada era 80-an dulu, yang muncul lagi beberapa waktu belakangan dengan munculnya karya-karya terjemahan novel psikologis berkaitan dengan kepribadian ganda itu.
Cerita jiwa terbelah tentang alter ego di diri seorang individu yang kadang disebut bipolar atau fuga ini, sempat menjadi pembicaraan hangat seiring dengan munculnya kisah nyata tentang gadis yang memiliki 16 kepribadian yang ditulis oleh Flora Rheta Schreiber dalam buku “Sybil” (1973). Semua mata terbuka, bahwa memang ada (atau apakah benar ada?) “diri lain” dalam diri kita masing-masing yang wujudnya kita sendiri tidak pernah tahu.
Sukses kisah Sybil, dilanjutkan dengan karya Daniel Keyes berjudul “The Minds of Billy Milligan pada 1981, yang di Indonesia diterbitkan Qanita dengan judul “24 wajah Billy” pada Juli 2005 silam.
Apakah Gus tf Sakai mengekor cerita bertema seperti ini? Belum jelas dan bisa jadi. Mengingat cerpen “Lelaki Bermantel” itu sendiri dibuatnya pada 14 November 2003 dan dimuat di Koran Tempo pada 30 November tahun yang sama. Namun berbeda dengan Sybil dan Billy, tokoh sentral dalam cerpen ini hanya punya satu alter ego yang membunuh para gelandangan di kotanya. Sisi lain jiwanya itu, kerap “bertemu” dengannya di malam-malam panjang di saat dia menikmati kehidupan malam kotanya lantaran derita insomnia yang menjangkitinya.
Selain cerpen “Lelaki Bermantel”, tema jiwa yang terbelah ini ditemukan pula dalam cerpen “Stefani dan Stefanny” yang penuh pergulatan kata. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Horison edisi Maret 2006 itu, jauh lebih berat dibanding “Lelaki Bermantel”.
Di tangan pengarang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat 13 Agustus 1965 itu, cerita psikologi seperti ini dihantarkan dengan jalan cerita yang memaksa pembacanya untuk berpikir dan berpikir. Tak sekedar berpikir, pembaca pun diajak terlibat di dalamnya, melalui pertanyaan yang dilontarkan untuk ketidakjelasan objek yang digambarkan atau pilihan kalimat yang digunakan.
Simak saja cara penulisan di cerpen “Lelaki Bermantel” ini. “Diperhatikannya lelaki itu lebih cermat. Samar, di bawah cungkup kepala mantel hujan biru (ataukah hijau?),…” (hal.3). Pertanyaan semacam (ataukah hijau?) ini, hampir sebagian besar ditemukan dalam 12 cerpen yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu.
Seperti dalam cerpen “Tok Sakat”, Gus tf beberapa kali menggunakan kalimat tanya penuh kebimbangan atas pilihan kata yang dipilihnya. Misalnya, “Ya, tetapi juga ada alam (ataukah lokasi, ataukah ruangan) lain di sekelilingnya yang bagai berdempet (ataukah berlapis)...” (hal.86)
“Apakah Gus tf peragu (ataukah sengaja membikin kita ragu?),” mungkin kalimat itu yang akan ada di pikiran kita membaca cerpen-cerpen penuh tanyanya ini. Jawabnya, hanya dia yang tahu, dan kita mungkin akan tahu setelah cerita yang diceritakan memasuki ending yang kadang ke luar (ataukah di luar?) dari pakem yang biasa digunakan cerpenis lainnnya.
Bisa jadi, kalimat tanya dalam kurung itu, bagian dari upaya pemenang Hadiah Sastra Lontar 2001 dan penghargaan sastra Pusat Bahasa 2002 serta SEA Write 2004 atas kumpulan cerpen “Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta” (1999) tersebut, untuk mengulik-ulik psikologis para pembaca dalam menyimak fiksi psikologinya ini. Jika itu iya, maka wajar bila seluruh cerpen di buku Kumcer “Perantau” ini, hampir seluruhnya berbau psikologi yang dituliskan dalam bahasa metaforis yang kadang sangat berat untuk pembaca yang terbiasa dengan cerpen-cerpen biasa. (***)
WHY CHOOSE US?
Nikmati koleksi Buku Cerpen terlengkap ditambah discount spesial.
Pesanan Anda segera Kami proses setelah pembayaran lunas. Dikirim melalui TIKI, JNE, POS, SICEPAT.
Semua barang terjamin kualitasnya dan terpercaya oleh ratusan ribu pembeli sejak 2006. Berikut Testimonial dari Pengguna Jasa Bukukita.com
Kami selalu memberikan harga terbaik, penawaran khusus seperti edisi tanda-tangan dan promo lainnya