Display Buku
Jatisaba
 
Rp 46.000
Hemat Rp 2.300
Rp 43.700

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari user133
 
  14 Sep 2012 - 10:18:55

Isi Resensi :
JATISABA: DONGENG ETNOGRAFIS TENTANG TRAFFICKING


AKU pulang, walau tidak punya rumah. Walau hasrat untuk pulang sama kuat dengan hasrat untuk mencegahnya. Aku sempat berjanji tidak akan kembali. Tetapi kenangan akannya begitu mengutukku. Kutukan yang mendatangkan kerinduan. Kerinduan yang mengalahkan segalanya; rasa malu, keangkuhan, dan dendam. Sepanjang jalan aku gemetar, menyadari yang aku rindukan adalah masa lalu (Jatisaba - Ramayda Akmal). ITULAH sepenggal kalimat-kalimat dalam novel Jatisaba karya Ramayda Akmal, salah satu novel pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2010 yang berhasil menyisihkan sekitar 277 novel yang lain. Ramayda Akmal, penulis novel ini, adalah satu-satunya penulis perempuan dan termuda di antara ketiga pemenang unggulan yang lain. Demikian pula dengan tema yang diangkat dalam novelnya. Tuntutan juri sayembara yang terdiri atas Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Anton Kurnia, dan A.S Laksana, agar novel mampu menampakkan kebaruan dari berbagai segi tampaknya terpenuhi dalam novel Jatisaba ini. Terpenting dari aspek kebaruan, seperti dilansir dalam pertanggungjawaban juri adalah jalannya cerita novel Jatisaba yang digerakkan dari sudut pandang seorang pelaku kejahatan. Jatisaba mengambil posisi perspektif berbeda dari yang selama ini dipahami dan ditanamkan secara umum dalam masyarakat ketika menanggapi problematika kehidupan. Beberapa ahli sastra yang membaca novel ini memberikan penekanan berbeda tentang tema dominan seperti tampak pada endorsement yang mereka berikan. Kemiskinan, cinta, politik, trafficking, moral, kepercayaan terhadap mistis/ilmu gaib, dan kelas sosial adalah beberapa tema yang mereka ketengahkan. Akan tetapi, keseluruhan tema itu sebetulnya berujung pada kenyataan etnografis yang kental sekali di dalamnya, dalam bingkai perjalanan seorang agen trafficking. Penulis memaparkan kondisi Jatisaba sebagai wilayah geografis bernuansa lokal Jawa Banyumasan yang kental dengan bukti-bukti etnografis di sana-sini. Tradisi-tradisi lokal seperti Ebeg (1), obong bata (2), nawu (3), dan nini cowong (4), dideskripsikan secara rinci. Selain itu kebiasaan, ungkapan, bahasa, bahkan selera lokal masyarakat Jatisaba juga mewarnai novel ini. Kenyataan ini yang disebut Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra sebagai keharusan dalam sebuah novel. Bahwa keragaman budaya di Indonesia harus direkam salah satunya melalui karya sastra khususnya novel. Penampakan etnografi Jawa Banyumasan bagi beliau merupakan faktor terbesar keberhasilan novel Jatisaba menjalankan fungsi dan tujuannya sebagai karya sastra. Cerita diawali dengan perjalanan tokoh utama bernama Mae kembali ke kampong halamannya. Tokoh ini menghabiskan masa kecilnya di kampung bernama Jatisaba dan karena berbagai hal ia sekeluarga harus meninggalkan kampung tersebut. Kohesi sosial yang tinggi di antara penduduk asli membuat Mae merasa terlempar dan asing. Oleh karena itu, di satu sisi, ia merasa memiliki Jatisaba dan seisinya karena tahun-tahun masa kecil yang dilewatinya, tetapi di sisi lain, ia tetap dianggap orang luar yang berbeda dengan penduduk asli. Posisi dilematis ini membuat tokoh Mae kadang mengambil jarak, mencela kemiskinan, politik kotor, moral yang hancur, ketergantungan penduduk Jatisaba terhadap kekuatan mistis, kemunafikan, dan lain-lain sembari sesekali menemukan pemakluman untuk mereka. Selanjutnya, dalam perjalanannya keluar dari kampung Jatisaba diceritakan Mae terjerat dalam sindikat kejahatan trafficking setelah ia terlebih dahulu menjadi korban. Berbagai situasi memaksanya menjadi agen dan kembali ke kampung halaman untuk mencari korban. Menurut Sapardi Djoko Damono, tema trafficking begitu luas menjadi isu sosial di negeri ini, tetapi Jatisaba berhasil mengolahnya dalam cerita yang penuh suspense dan berusaha menerangkan latar belakang dan motivasi-motivasi di balik tindak kejahatan tersebut. Dalam proses menjaring korban, Mae berusaha memanfaatkan kekacauan politik dalam rangka pilkades yang tengah melanda kampungnya itu. Motivasi dan cara-cara berpolitik yang kotor tampak dalam fragmen-fragmen perjalanan pilkades di Jatisaba. Suap, korupsi, money politic, dan penggunaan legitimasi ilmu hitam berkelindan di setiap bab-bab novel Jatisaba ini. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa corak politik kotor yang demikian membudaya tidak hanya dalam skala luas dan besar, tetapi juga pada tataran lebih kecil dan sederhana. Kepiawaian dan pengetahuan penulis, kemampuan memilih diksi dan gaya bercerita yang kuat tampak dalam menggambarkan perjalanan politik dan menentukan pilihan-pilihan tertentu dalam mengakhiri cerita politik di novelnya itu. Dalam usaha mencari korban dan mensiasati kondisi politik di desanya, tokoh Mae seringkali dibantu oleh seorang dukun Muda bernama Gao yang adalah cinta pertamanya. Kehadiran Gao seperti menghidupkan lagi gairah dan kemanusiaan Mae yang selama itu ditekan agar selalu berada di titik terendah, sehingga ia bisa meminimalisasi rasa bersalah ketika melaksanakan aksinya. Akan tetapi, kenyataan bahwa Gao sudah beristri, bahwa Gao orang asli Jatisaba, dan berada di pihak yang membahayakan posisi Mae membuat cinta itu tidak pernah dimenangkan. Kisah cinta dua orang ini digambarkan melalui kalimat-kalimat puitis dan mengharukan, yang melengkapi kekuatan gaya dan teknik novel Jatisaba ini. Keyakinan besar bahwa Mae mengenal kampung Jatisaba dan mampu mengendalikan serta memanfaatkan situasi ternyata salah besar. Pada akhirnya, Mae dikhianati oleh orang kepercayaannya sendiri sehingga tertangkap. Ia terpecundangi oleh masyarakat kampung yang selalu tak ia mengerti jalan pikirannya. Masyarakat Jatisaba justru terselamatkan dengan kebodohan, kemiskinan, moral yang cair, dan kekotoran yang selama ini dipredikatkan Mae kepada mereka. Ahmad Tohari menyebut kondisi masyarakat yang tampak pada Jatisaba merupakan kondisi khas desa ketika menghadapi perubahan sosial dan ekses-eksesnya. Beberapa juri menganggap munculnya bahasa lokal di dalam Jatisaba sedikit mengganggu pembacaan. Akan tetapi, penggunaan footnote yang cukup tertib dapat mengatasi keluhan-keluhan tersebut. Demikian pula dengan pemilihan teknik backtracking dalam beberapa bab novel yang penulis pertahankan walaupun juri menginginkan itu untuk diubah. Pemilihan teknik tersebut semata-mata berkaitan dengan selera artistik yang sudah dibangun sebagai satu kesatuan dalam novel Jatisaba. Novel ini berpotensi sebagai sebuah novel yang inspiratif, konseptual, mempunyai komitmen tinggi terhadap realitas, dan mampu menyajikan solusi-solusi cerdas demi perjuangan kemanusiaan. Catatan Kaki: (1) Kuda lumping. (2) Ritual pembakaran batu bata. (3) Mengeringkan kolam untuk mengambil ikan-ikan. (4) Ritual meminta hujan. oleh Dr. Aprinus Salam, Dosen di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]