Display Buku
Kangen Indonesia - Indonesia di Mata Orang Jepang
 
Rp 36.000
Hemat Rp 5.400
Rp 30.600

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari sutakwa
 
  12 Agu 2015 - 14:18:41

Isi Resensi :
Kangen Indonesia - Indonesia di Mata Orang


Judul Buku : Kangen Indonesia - Indonesia di Mata Orang Jepang Penulis : Hisanori Kato Penerbit : Kompas Harga : Rp 30.000 Tahun Terbit : Oktober 2013 (cetakan ketiga) Penerjemah : Ucu Fadhilah Ukuran : 14 x 21 (cm) Tebal : xxiv + 144 halaman Beberapa kali saya sempat terantuk keheranan, bagaimana mungkin orang Jepang yang begitu appreciable terhadap sesuatu dan sangat menjaga privasi baik privasi diri maupun penghargaan tinggi pada privasi orang lain, menjadi sangat ganas saat perang dunia. Salah satu negara terbesar dan berpenduduk terbanyak saat ini, dengan sejarah peradaban kerajaan beribu tahun, China, hangus lebur oleh Jepang. Belanda, yang lebh dari 3,5 abad ‘berkongsi’ dengan Indonesia, hancur rata hanya dalam beberapa hari, oleh Jepang. Juga serangan Kamikaze yang melegenda, yang tidak pernah diduga oleh US, menghenyak siang yang tenang, sekiranya negitu penggambarannya dalam film Pearl Harbour. Dan setelah semua putar balik tabiat itu, lebih mengejutkan lagi saat buku sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerah setelah Hiroshima dan Nagasaki lebur oleh bom Einstein. Mengejutkan, karena saya pikir harusnya Jepang masih tetap mempunyai banyak amunisi dan strategi untuk meneruskan perang. Mungkin saja Kaisar terbuka matanya, melihat rakyatnya lenyap seketika di Hiroshima Nagasaki. Mungkin saja sosok seperti Omura yang digambarkan lewat The Last Samurai telas habis dan punah, kalah oleh ketetapan hati Kaisar untuk memilih kepentingan rakyatnya daripada membabibuta mengejar dan menggenapi kekuasaan semua dari Perang Dunia. Dan masih banyak ‘mungkin saja’ yang lain, yang belum sempat saya telusur dari kedalaman sari sejarah yang saya temu dan kumpulkan. Tapi tentu saja saya memang telah secara real dan nyata berinteraksi dengan sedikit orang Jepang (baca: Jepang #1 hingga Jepang #6), dan sungguh terasa bagaimana mereka menjunjungtinggi apresiasi terhadap sesuatu, antusiasme pada pertanyaan dan komunikasi, serta sikap hormat dalam hal privasi diri dan orang lain. Ini adalah buku lama, pertama kali terbit di Indonesia tiga tahun lalu sebagai versi terjemah dari terbitan Jepang. Pun mungkin saja diterbitkan di Jepang sebih awal lagi, tahun 2010 atau 2011. Saya pernah berniat membelinya, tiga tahun lalu, entah kenapa baru ingat sekarang dan barulah terbeli sekarang. Saat saya turut penulisnya lewat mesin pencari, tidak ditemukan hasil yang diharapkan untuk mengetahui kontak atau kesibukan beliau saat ini, dalam buku ini diceritakan ia saat ini berada di Jepang. Jika saja ia dapat kuhubungi, akan kuhubungkan ia dengan lebih banyak realita lapangan yang akan membuat disertasinya mengenai islam di Indonesia tidak akan rampung barangkali. Karena sungguh banyak hal tentang islam di Indonesia yang tidak dapat disimpulkan dengan satu dua buku, satu dua penelitian, dan bahkan kita akan mencapai sebuah kesimpulan bahwa pada akhirnya islam di Indonesia bukan untuk diteliti, namun untuk dinikmati dan diresapi sebagai sebuah ketenangan dan ketentraman hidup. barangkali, jika Rasulullah tahu ada bangsa berkultur semacam Indonesia, Beliau shalallahu alaihi wassalam akan menjadikan Indonesia sebagai tempat hidupnya setelah Makkah dan Madinah. Kato-san tidak salah mengupas tentang Islam pada disertasinya. Ia juga tak salah bertemu Ulil dan Gusdur. Tak juga salah saat ia tak mengemukakan terbuka siapa narasumber ‘bab’ islam fundamentalis yang ia jadikan rujukan. Tapi rasanya kok yang disajikan oleh Kato-san masih sangat kurang – mungkin karena saya belum baca buku Islam di Mata Orang Jepang – hambar, dan setengah-setengah. Kalau saja ia bertemu denganku, akan kuajak ia menemui LDII, akan kupertemukan ia dengan Gema Pembebasan-nya HTI, pun ku liqo­-kan dengan akar rumput Ikhwanul Muslimin di KAMMI, kusinggahkan di Gontor, mampir sebentar di Sidogiri, bahkan mungkin sejenak duduk di Gumuk, hingga merasakan Kampung Ramadhan Jogokaryan, dan berakhir di Kadipiro, di Rumah Maiyah yang damai itu. Itupun tidak mewakili 5% dari khazanah muslim di nusantara ini. Tapi inilah Indonesia, entah salah dan alpa siapa hingga sampai orang asing yang tulusa dan serius ingin mendalami dan meneliti Islam di Indonesia-pun hanya diberikan ‘kulit ari’ dari Islam itu sendiri. Barangkali Kato-san harus membaca Sirah, menelusur kisah terbunuhnya para Khalifah, dan meramu dalam logika tentang asal mula mushaf, fiqih, nahwu sorof, kodifikasi Al-Quran, hingga imam Mahzab. Tapi, barangkali inilah tamparan keras untuk muslim negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Islam dijadikan status katu tanda penduduk, bukan sebuah tuntunan dan kebijaksanaan hidup. ini seolah menunjukkan bahwa yang diperbincangkan oleh muslim mayoritas di Indonesia hanyalah soal istilah-istilah pasar macam islam liberal, fundamentalis, teroris, dan sebangsanya. Lantas hal itu meniadaan bahasan islam yang lebih ‘islam’. Islam sebagai ajaran dan tata kelola hidup dunia dan akhirat. Bukan hanya konsep sa’cukupe ala Budha yang dipercayaai Kato-san. Mungkin Kato-san juga luput atau tidak mencapai kesimpulan bahwa Budha dan Hindu juga Agama Allah, seperti bahasan yang kerap mengaitkan istilah Brahma dengan Ibrahim. Tapi sungguh ini buku yang menarik dan menggugah kesadaran muslim yang ‘bisa sadar’, bahwa keislaman kita di Indonesia barulah setebal kulit ari yang mengelupas ta berbentuk, tak maujud, rapuh, tipis, halus, dan mudah tertiup. Bahasan lain mengenai wisdom orang Jawa dengan konsep sa’cukupe dan tidak apa-apa sepertinya juga tidak disadari oleh Kato-san bahwa hal tersebut pun merupakan percik keindahan Islam yang diajarkan oleh Wali dan Ulama penggagas negeri ini. Pun barangkali Kato-san mesti mempelajari Brawijaya, Diponegoro, Tjokroaminoto, Hatta, Sukarno, hingga Natsir – hingga dapat mencapai taraf nyawiji dengan Islam itu sendiri. Menjadi Muslim. Iya, sungguh, tentu saja, jika bertemu, akan kuajak pula Kato-san ke Mualaf Center Indonesia. Kuajak ia pada Islam. Mengenali, mencintai, hingga rela melakukan apapun, demi Islam ini.
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating+0 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]