Display Buku
The Thirteenth Tale - Dongeng Ketiga Belas
 
Rp 75.000
Hemat Rp 3.750
Rp 71.250

 
Apa itu Resensi?

Resensi adalah pertimbangan, pembicaraan atau ulasan sebuah buku.
Resensi itu bukan sekadar menceritakan isi buku atau sinopsis.
Resensi adalah penilaian Anda secara kritis setelah membaca isi buku, apa kelebihannya atau kekurangannya.
Jadi sekali lagi, resensi tidak sama dengan sinopsis dan resensi tidak mengandung spoiler (membocorkan isi cerita yang penting).
Resensi dari alaidraancken
 
  03 Feb 2013 - 10:19:35

Isi Resensi :
Dongeng Ketiga Belas


Semua anak memitoskan kelahirannya sendiri. Itu karakteristik umum. Kau ingin mengenal seseorang? Hati, pikiran, dan jiwanya? Tanyakan padanya tentang saat dia lahir. Yang akan kaudapatkan bukanlah kebenaran: kau akan mendapatkan sebuah dongeng. Dan tak ada hal yang lebih menggugah selain dongeng. "Ceritakan padaku yang sesungguhnya" Permintaan sederhana itu mengusik hati Vida Winter, novelis ternama yang penuh rahasia. Bukankah selama enam puluh tahun ini dia telah banyak mengarang dongeng, tapi tak pernah mengungkapkan kisahnya sendiri? Namun, menjelang ajal, masa lalu tak dapat dihindari lagi, berapa pun banyaknya dongeng yang telah ditenunnya. Entah bagaimana, Vida Winter, sang penulis terkenal yang mestinya tokoh dalam novel ini justru seolah menjadi sang penulis novel ini sendiri. Membacanya kita seolah menuruti aturannya dalam bercerita, tidak ada loncatan cerita, kisah yang diawali permulaan pada pemulaan, berlanjut pada pertengahan, dan kisah akhir di bagian akhir. Semua berada di tempat semestinya. Tak ada kecurangan. Tak boleh meloncat ke depan. Tak ada pertanyaan. Tak boleh mengintip halaman terakhir. Begitulah, kebiasaan ingin mengetahui bagaimana awal, tengah dan akhir kisah, kecurangan mengintip halaman- halam tengah dan terakhir buku menjadi teredam dengan aturannya itu. Vida Winter, sang penulis tenar, mengetahui ajalnya yang telah mendekat telah memutuskan untuk menceritakan kisahnya. Kisah yang selalu diceritakan dalam bentuk puluhan dongeng pada setiap wartawan yang mewawancarainya demi sedikit kisah hidup masa lalunya, sama seperti pada penulis kebanyakan. Semua berawal dari permintaan sederhana seorang pemuda, "Ceritakan padaku yang sesungguhnya". Tapi bukan Vida Winter namanya jika ia dengan begitu saja menceritakan kisahnya sendiri yang penuh rahasia itu bukan? Dan sang pemuda pun pergi, dengan rasa kecewa di hatinya. Namun entah mengapa, pertanyaan itu mengusiknya. Maka Vida Winter pun mengundang Margaret Lea, penulis biografi muda, yang memiliki rahasia sendiri tentang kelahirannya, yang telah dikubur dalam-dalam oleh orang-orang yang paling dia kasihi, dan mendiptakan bayang-bayang kelam yang membuntuti tiap langkahnya. Tak ada loncatan cerita, semua tersusun sebagaimana mestinya, kisah yang mengalir dari mulut, ingatan, dan ekspresi sang pendongeng. Inilah kisah Vida dan keluarga Angelfield: Isabelle yang cantik dan keras kepala, si kembar Adeline dan Emmeline yang liar, rumah besar Angelfield yang tua dan nyaris ambruk, serta semua penghuninya-hidup atau mati. Rasanya seperti membaca dongeng, bukan dongeng yang mudah ditebak, terlalu banyak pertanyaan di dalamnya. Dengan alur yang sedikit lambat seolah mengikuti lambatnya gerak sang pendongeng tua yang mulai rapuh, namun penuh semangat menyimaknya seperti semangat sang pendongeng itu sendiri yang tak pernah pudar. Pertanyaan-pertanyaan muncul seiring mengalirnya kisah, tapi menuruti aturan, tak boleh ada loncatan cerita, pertanyaan itu terendap dalam pikiran, memaksa mengingat bagaimana kisah itu berjalan, membuka ulang halaman yang lalu. Siapa hantu-hantu itu? apakah mereka nyata? ataukah mereka hanya masa lalu dari kisah yang tak terungkap? Siapa Vida Winter sesungguhnya? Emmeline, Adeline, atau bahkan Angelfield itu sendiri, siapakah mereka sesungguhnya? Apa yang terjadi pada mereka sesungguhnya? Kisahnya terangkum dalam buku ini. Meski di akhir halaman terkadang tak semua pertanyaan menemukan jawab. Karena kita memang tak pernah mengetahui segala hal bukan? Terutama bila kita bukanlah sang tokoh utama dalam kisah dongeng tersebut. Itu reviewku, catatanku, meski saat membacanya lebih banyak lagi review yang keluar dari otak ini, tapi saat mengetiknya semua seolah mengendap untukku sendiri. Mengendap bersama sang pendongeng yang telah usai menceritakan kisahnya sendiri, berakhir tepat di akhir hidupnya. Vida Winter seolah menjadi penulis sesungguhnya bagiku, yang kisahnya dituliskan melalui catatan-catatan Margaret Lea selaku penulis biografinya, bukannya Diane Setterfield yang penulis buku yang menceritakan bagaimana kisah Vida Winter dan Margaret Lea dalam bukunya ini. Buku ini, melalu aturan Vida Winter akan sebuah kisah, berhasil memaksaku (lambat namun bersemangat dan tenggelam saat membacanya) untuk kembali membaca sebuah buku secara beraturan, dimulai pada permulaan, ke tengah, dan akhirnya di penghujung halaman. Pada akhirnya, halam terakhir, dan akhirnya tertutup seluruhnya. tapi bila masih bertanya-tanya, kurasa Vida Winter tak akan keberatan bila aku harus membaca kisahnya sekali lagi, atau bahkan berulang kali bukan?
Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+0 rating


 
 
[Semua Resensi Buku Ini]