In The Miso Soup

  • Cover In The Miso Soup
Rp 34.500
Hemat Rp 1.725
Rp 32.775
Judul
In The Miso Soup
Penulis
No. ISBN
979
Tanggal terbit
November - 2007
Jumlah Halaman
334
Berat
-
Jenis Cover
Soft Cover
Dimensi(L x P)
130x190mm
Kategori
Mistery-Thriller
Bonus
-
Text Bahasa
Indonesia ·
Lokasi Stok
Gudang Penerbit
(Pesanan membutuhkan waktu proses 2-4 hari kerja)
icon-help
Stok Tidak Tersedia

DESCRIPTION

REVIEW In The Miso Soup

Oleh : karangsati, 08 Jan 2008-11:10:01

Rating
+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating+1 rating
Kenji tak pernah tau alasan lain mengapa ia mau saja menjadi guide Frank. Tidak, selain ia membutuhkan uang. Memperbanyak tabungannya untuk mewujudkan cita-citanya : pergi ke Amerika. Dia punya mimpi di sana. Dan dia ingin itu segera terjadi. Maka dia harus merelakan tiga malam akhir tahunnya untuk menemani Frank, bule amerika yang menyewa jasanya menjadi pemandu menyusuri kehidupan dunia malam Tokyo.

Dia telah melewati ratusan malam dalam pekerjaannya. Namun tidak pernah menemukan pria seperti Frank.

Sejak pertama menatap sorot mata Frank dia sudah merasakan. Frank bukanlah sebagaimana turis asing yang biasa dihadapinya. Frank pria misterius dengan banyak keganjilan. Frank tidak seperti sosok yang digambarkannya lewat telepon : berkulit putih, gendut, mirip Ed Harris. Frank adalah pria aneh dengan kulit seperti buatan pabrik, atau kulit orang yang mengalami luka bakar. Meski mengaku usianya 35 tahun. Tak ada kerutan sama sekali di wajah Frank. Pipi Frank seperti silikon yang dipakai untuk menyelam. Dingin. Wajah Frank dapat berumur berapa saja : duapuluhan, tiga puluh limaan, empat puluhan, lima puluh tahunan.

Kenji tak pernah tau siapa Frank. Menginap di hotel mana dia. Warga negara mana dia. Yang Kenji yakini pasti nama kliennya itu bukan Frank. Kenji tau pada tiap ucapan Frank tentang identitas dan masa lalunya adalah kebohongan. Meski dalam suatu deskripsi tertentu Kenji meragukan kesimpulannya sendiri. Tapi dia berpendirian. Dia tak boleh mempercayai Frank. Tingkah laku Frank yang aneh dan menakutkan—amat berbeda diantara klien-klien yang pernah dipandunya—membuat Kenji menjadi paranoid. Ditambah lagi kemampuan Frank menghipnotis orang. Barangkali Frank adalah orang yang memotong-motong gadis pelacur yang mayatnya tampil di tivi itu...

Menurut Frank tingkah lakunya yang ganjil karena dia pernah kehilangan otak depannya. Pada usia sebelas tahun Fank mengalami kecelakaan. Kepalanya pecah. Kemasukan kaca hingga dan dokter harus membuang sebagian otak depannya.

“…kadang-kadang tubuhku tak bisa digerakkan seperti tadi itu. Kalau bicara pun, kadang-kadang juga tak jelas. Kadang-kadang pembicaraanku meloncat-loncat” Jelas Frank.

Haruskah Kenji mempercayai ucapan Frank. Mungkinkah itu yang menyebabkan keterangan Fank berubah-ubah, tidak konsisten. Seperti orang yang sering menderita penyakit bohong.

Frank mengambil tangan Kenji dan menempelkan ke lehernya. “dinginkan?” tanya Frank. Memang sungguh-sungguh terasa dingin. Kedengarannya seperti film-film science fiction. Namun bukan berarti dia harus mempercayai cerita Frank bukan. Walau mulai ragu pada kesimpulannya sendiri. Itu tak begitu saja menghapus kecurigaannya pada Frank.

Postur Frank pendek. 162 centi. Sedikit lebih pendek darinya. Tapi tubuh Frank bagaikan terbuat dari logam. Keras dan dingin. Tenaganya luar biasa. Dia bagaikan monster atau semacam robot. Pokoknya Frank mengerikan...

Yak betul!

Ini adalah novel In The Miso Soup (ITMS) karya Ryu Murakami yang saya beli ketika pulang nonton bareng Ri minggu kemarin.

Novel ini berkisah tentang seorang pemuda jepang bernama Kenji, freelance guide yang melewati tiga malamnya yang mencekam ketika memandu Frank, seorang turis Amerika bertubuh tambun dalam menjelajahi kehidupan malam Tokyo.

Novel ini penuh ketegangan dan teror mental.

Jika dicarikan sandingannya mungkin Messiah-nya Boris Starling barangkali yah?

Novel ini alurnya runtut dan kuat. Serta mencekam seperti death note. Tempo yang menanjak dengan cepat lalu menukik mengejutkan kemudian berjalan dalam perhitungan birama yang cantik hingga akhir cerita.

Pada beberapa bagian cerita sulit dihentikan, hanya memiliki beberapa jeda. Bahkan mendekati bagian pertengahan pergantian bab bukan berarti membuat suatu jeda, namun sekedar berupaya membantu pembaca menarik nafas. Novel ini menjadi amat hidup dan merasuki pikiran pembacanya karena Ryu menempatkan Kenji sang tokoh utama pada sudut pandang orang pertama (aku). Sehingga pembaca seolah menyaksikan sendiri apa yang Kenji alami.

Membandingkan ITMS dengan Messiah-nya Boris Starling. Apa kelebihannya ya? Barangkali novel ini lebih ringkas. Tanpa prolog panjang-panjang menghujam ke sasaran tanpa basa-basi. Sementara membaca Messiah kita bisa sambil ngopi-ngopi atau makan kue.

Begitu?

“Tentu aja, Rang, dari tebelnya aja juga udah ketahuan. Messiah 640 halaman, sementara ITMS hanya 320” Cetus Ri.

Maksud saya—apa ya? Bagaimana menjelaskannya—novel ini menitikberatkan pada teror psikologis, sementara Boris Starling lebih menitikberatkan pada teka-teki. Jadi tentu dia dapat bermain-main pada banyak halaman. Sedangkan novel yang dibangun dengan teror tidak bisa seenaknya demikian. Sebab harus memperhitungkan tempo untuk dapat mempertahankan ketegangan. Begitulah kira-kira penjelasan logisnya.

Ryu Murakami, pengarang novel ini bagi saya betul-betul luar biasa. Dia dapat menumpahkan naluri gelap manusia yang terpendam, yang selama ini terbungkus dalam angan-angan menjadi kenyataan. Mendeskripsikan metamorfosa kondisi psikologi yang rumit dipahami akibat penyakit sosial secara mendetail dan meyakinkan. Ryu bagaikan seorang pakar kejiwaan yang dapat menangkap penyimpangan prilaku psikologi seseorang akibat efek gelap kelacuran sosial. Kegagalan tranformasi jiwa untuk mencapai kondisi normal membawa manusia kembali menjadi purba. Bertindak, dan menilai melalui naluri dan ketakutan. Suatu sisi gelap yang menakutkan.

Sulit untuk mengingat narasi mana yang dominan. Karena nyaris semua narasi dibangun sama kuatnya. Begitu juga dialog. Dialog tokoh dibuat sedemikian rupa hingga sepertinya tak ada satu karakter pun yang bicara sekedar mengisi ruang dalam cerita. Dialog setiap tokoh adalah sesuatu yang memang seharusnya dilakukan tokoh itu.

Namun untuk sekedar melihat kepiawaian Ryu dalam membangun suasana teror lewat dialog Frank dengan Kenji saya petikan saja dialog ini:

“Malam ini kau kelihatan gembira sekali. Tidurmu nyenyak kemarin malam?”

Frank menggeleng, “Aku hanya tidur satu jam saja.”

“Satu jam saja?”

“Tapi itu tidak masalah untukku. Kalau sel-sel di otakku sedang tumbuh, pada dasarnya aku tidak banyak tidur. Kau tahu tidak? Kalau tidak sedang stress kita tak perlu tidur. Tidur itu bukan untuk tubuh kita. Tapi, untuk mengistirahatkan otak kita. Kalau tubuh kita yang butuh istirahat, cukup berbaring saja. Tapi, otak itu stress dan orang tidak bisa tidur dalam jangka waktu yang lama, seseorang bisa melakukan sesuatu yang kejam dan tidak bisa kau bayangkan sebelumnya.”

Frank mengatakan itu seperti layaknya dialog biasa. Tidak ada deskripsi dari Ryu tentang bagaimana mimik Frank ketika mengatakan pendapatnya tentang tidur. Namun isi dialog itu kita tau, itu meneror. Semacam ancaman terselubung. Saya rasa Ryu juga tidak memberi deskripsi bagaimana mimik Frank mengucapkan hal itu untuk menguatkan karakter Frank. Dan membangun ketakutan Kenji dengan menebak-nebak apa maksud kalimat Frank lewat pikiran pembaca.

Bagi saya sulit mengatakan (kecuali anda membacanya sendiri) bahwa diperlukan pemahaman psikologis yang kuat dan wawasan yang luas untuk dapat menyusun novel seperti ini. Tapi Ryu membuat hal yang sulit itu mengalir begitu lancar. Ryu berhasil menciptakan suasana suram dan kelam begitu kental dalam segala hal. Dari lingkungan. Sikap sinis dan pesimis karakter. Kondisi psikologis tokoh-tokohnya. Sikap sosial masyarakat dan etos kerja mereka.

Kekurangan-kekurangan orang jepang telanjang di depan mata ketika kita membaca novel ini. Ternyata masyarakat kita tak jauh beda dengan mereka. Persoalan yang kita hadapi pun adalah persoalan global yang sama, dekadensi moral. Namun hal itu tak membuat dialog novel ini menjadi kaku. Diantara suasana mencekam itu dia juga menyelipkan humor-humor yang menggelitik.

Mari kita simak pendapat Kenji tentang problem yang dihadapi remaja jepang ketika memikirkan problem gadis seumuran Jun (pacarnya):

...hidup yang lurus-lurus saja itu bukan perkara gampang. Para orang tua, guru, negara mengajarkan kita untuk hidup seperti budak. Tapi, tak ada seorang pun yang mengajarkan kita bagaimana hidup dengan mudah dan biasa-biasa saja.

Membaca novel ini seperti mengembara menjelajahi dunia psikologis tokohnya. Ryu amat piawai menggiring mental pembaca menuju titik dimana imajinasi melampaui kenyataan. Hingga kita berpikir entah di kantor, entah di kos-kosan, entah di terminal, atau disuatu tempat, bisa saja saat kita bertemu dengan manusia seperti Frank. Sungguh mengerikan bukan?

Two Thumbs Up for Ryu. Bintang empat buat novel In The Miso Soup.
Buruan gih baca!

Tulisan ini pertama kali saya posting di intranet kantor DJP
juga saya muat di blog saya http://karangsatie.blogspot.com

WHY CHOOSE US?

TERLENGKAP + DISCOUNTS
Nikmati koleksi Buku Mistery-Thriller terlengkap ditambah discount spesial.
FAST SHIPPING
Pesanan Anda segera Kami proses setelah pembayaran lunas. Dikirim melalui TIKI, JNE, POS, SICEPAT.
BERKUALITAS DAN TERPERCAYA
Semua barang terjamin kualitasnya dan terpercaya oleh ratusan ribu pembeli sejak 2006. Berikut Testimonial dari Pengguna Jasa Bukukita.com
LOWEST PRICE
Kami selalu memberikan harga terbaik, penawaran khusus seperti edisi tanda-tangan dan promo lainnya

Produk digital

Karya Ryu Murakami lainnya:

Buku sejenis lainnya

Buku terbitan AgroMedia Pustaka lainnya:

WorkLess, EarnMore the trilogy Part 1
Buku Who The Hell Are You? Buku Personal Branding
Buku pengembangan Diri Januari 2020
Buku Populer & Terlaris 2020